Persinggungan Sastra Pop dan Non-pop

persinggungan (cover)

Sastra popular, atau yang lebih dikenal dengan sebutan sastra pop, dianggap sebagai sastra yang esensinya lebih rendah dari sastra non-pop. Sastra pop dianggap tidak memiliki keindahan dari segi pemaknaan karena sekali baca seorang pembaca bisa langsung mengetahui makna yang ingin disampaikan oleh pengarang tanpa tudung aling-aling. Tidak seperti sastra non-pop, sastra pop cenderung lebih mengutamakan permintaan pasar daripada keindahan estetik yang tersaji lewat penyampaian maupun makna yang tersirat di dalam karya tersebut.

Beberapa bulan yang lalu, di sebuah acara stasiun televise swasta, ditayangkan perbincangan menarik tentang sastra. Yang menjadi pembicara adalah seorang sastrawan, budayawan dan seorang akademisi, dalam hal ini diwakili seorang guru SMP-SMA. Inti pembicaraan mereka adalah tentang karya sastra yang berbobot dan tidak berbobot. Bagi seorang guru tadi, sebuah bacaan (dalam hal ini karya sastra) bagi siswa atau remaja, tidak terlalu mementingkan bobot dan bebet sebuah karya sastra. Tetapi, yang dipentingkan disini adalah siswa atau remaja tersebut mau membaca karya sastra. Lain halnya dengan sastrawan tadi, yang karyanya sedang booming, dia menganggap bahwa bacaan bagi siswa atau remaja haruslah berupa karya sastra yang memiliki bobot, baik dari segi pendidikan maupun perjuangan.

Dari perbincangan sekilas tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sastra masa kini, yang dikenal dengan sastra popular, memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan sastra yang berkembang pada zaman dulu, sastra non-pop. Jika dulu kita mengenal Pramudya Ananta Toer dengan sastra realisme sosialisnya, maka kini bermunculan sastra beraliran – saya menyebutnya sebagai – “sastra realisme kapitalis”.

Realisme sosialis sendiri adalah sebuah aliran seni yang muncul pada masa awal revolusi Rusia. Apa yang disebut “realisme sosialis” dalam wacana seni dan kebudayaan adalah sebagai alat perjuangan kelas. Aliran ini muncul karena usaha untuk memperbaiki seluruh krisis yang melanda melalui medium seni  benar-benar mustahil dilakukan, kecuali dengan revolusioner.

Klaim realisme sosialis ini secara sederhana bisa dikatakan mendasarkan diri pada teori dialektika Marx, dimana realitas diletakkan sebagai esensi dari hal-hal yang tampak (materi). Dalam tradisi rusia, realisme sosialis sebagai aliran estetis dilembagakan keberadaannya menjadi semacam ideology atau paham yang dianut oleh sastrawan atau seniman (Eka Kurniawan, “Pramudya Nanta Toer dan Sastra Realisme Sosialis”).

Aliran ini banyak diadopsi oleh sastrawan maupun seniman “kiri” yang kebanyakan hidup di dalam sebuah negara yang dipimpin oleh pemerintahan yang fasis. Di Rusia misalnya, ada Maxim Gorki dengan triloginya: Childhood, My Apperenticeship, dan My Universities. Di Cina ada Lu Hsun dengan beberapa novelnya, di antaranya adalah AQ Chengcuan. Di Indonesia ada Pramudya Ananta Toer dengan tetralogi Karya Buruh-nya.

Sedangkan “realisme kapitalis” sendiri, menurut saya, adalah sebuah aliran seni yang muncul pada masa ketika sastra yang “berat” atau sastra yang memerlukan pengetahuan lebih luas untuk memperoleh makna yang tersirat dalam karya tersebut mulai ditinggalkan pembaca yang beralih pada bacaan yang yang mudah dimengerti tanpa membaca ulang. Jika yang dicari oleh sastra realis adalah sebuah keadilan, maka yang dicari oleh sastra kapitalis adalah keuntungan. Jika mau menghitung, tidak sedikit penulis yang mau menulis hanya karena kesadaran akan materi, bukan kesadaran mendalam atas realitas ada di sekitar masyarakat sekitarnya sehingga kualitas dari karya tersebut tergolong rendah.

Melihat kenyataan ini, dapat diambil sedikit kesimpulan dari beberapa kesimpulan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yaitu sastra di negara ini mengalami sedikit kemunduran apabila dibandingkan dengan zaman dulu. Karya sastra zaman dulu (sastra non-pop) lebih mementingkan unsure perjuangan untuk mendapatkan keadilan serta perlakuan yang layak. Sedangkan karya sastra yang banyak bermunculan pada masa kini cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu (penerbit misalnya). (*)

Radar Surabaya | Minggu, 13 Desember 2009

Leave a comment

Blog at WordPress.com.