Requiem dalam Symphony No.9 in D Minor

IA telah lama menunggu mautnya, dan saat inilah waktunya. Ia memang tidak tahu persis, tetapi ia merasakan maut telah datang dan mengintai.
Baginya, maut adalah deskripsi yang pas untuk pengecut. Dia akan datang
dengan diam-diam, bersembunyi di balik udara, dan menikam selagi
korbannya lengah.

Begitulah. Maut telah didesain sebagai pembunuh berdarah dingin yang tak tersentuh hukum. Maut selalu meminjam tangan orang lain untuk membunuh para korbannya. Maut adalah kegelapan yang terus mengintai, dan mengancam.

Batas yang membagi hidup dan kematian adalah kegelapan yang sempurna. Siapa yang bisa bilang di mana satu akan berakhir, dan di mana yang lain dimulai?

Bila ingin menemukan jawabannya, maut harus ditangkap hidup-hidup dan diinterogasi sampai mau buka mulut.

Ia telah banyak belajar untuk hidup, sehingga ia pun belajar bagaimana
menemui kematiannya. Karena itu, ia ingin berhadapan dengan maut,
bertatap mata, satu lawan satu.

Karena itu pula, ia berusaha terus terjaga. Terkadang kantuk membelai halus matanya. Tapi, secepat mungkin dia berusaha kembali terjaga. Ia sadar, maut bisa saja menyamar mewujud kantuk. Setelah ia tertidur, maut pun dengan leluasa membunuhnya.

Untuk belajar karakter maut yang samar, gelap, dan menyedihkan, ia
sering belajar tentang karakteristik maut; keberadaannya, wujudnya, bahkan waktu kapan datangnya. Dia berusaha mencari jawabannya dari embusan angin, dalam deru kereta, dalam musik-musik, dan rapal-rapal mantra. Hingga ia menemukan Symphony No.9 in D Minor dari Beethoven maupun Gustav Mahler. Ia merasa maut bersembunyi dalam simfoni itu, yang telah membunuh Beethoven dan Mahler setelah menyelesaikannya. Bahkan, maut bisa meminjam resonansi untuk membunuh korbannya.

Ia yakin maut akan datang. Karena itu, ia mulai memencet-mencet layar handphone-nya. Ia secara bergantian memperdengarkan Requiem Mass in D Minor-Piano Concerto No. 23 dari Mozart, Violin Concerto in D dari Tchaikovsky, atau String Quintet in C Major dari Franz Schubert’s. Sampai ia mulai tak bisa melawan kantuk yang memaksanya mengatupkan mata. Ia terus berusaha melawan agar tetap terjaga.

Ia tak boleh kalah. Tetapi, ia terus terpejam dan mulai terbaring di lantai saat handphone-nya kembali melantunkan Symphony No.9 in D Minor. (*)

Jakarta, 7 Mei 2015

Leave a comment

Blog at WordPress.com.